Oleh: Fikria Najitama[i]
PENDAHULUAN
Sense of crisis Josef van Ess dalam penelitiannya yang berjudul The Logical Structure of Islamic Theology bermula ketika membaca statement ‘Abdullatif al-Baghdadi yang menyatakan bahwa tak satupun diantara para fuqaha klasik tertarik dengan logika, kecuali al-Mawardi. Pernyataan tersebut mengasumsikan bahwa tidak seorangpun dari ahli hukum atau selainnya yang menggunakan logika. Padahal dalam menggunakan metode-metode penafsiran untuk mengintepretasikan al-Qur’an, para ahli hukum haruslah mengaplikasikan seluruh proses logika untuk menyesuaikan perintah-perintah al-Qur’an -yang didasarkan pada penafsiran-- dengan kasus-kasus individu sehari-hari.
Dalam hal ini Josef van Ess telah menelaah karya-karya yang terkait dengan persoalan logika seperti penelitian Sextus Empiricus (Adversus Logicos) dan Mates (Stoic Logic) yang memaparkan mengenai struktur logika Stoik. Selain itu ia juga menelaah karya-karya mutakallimun, baik yang lebih cenderung pada logika Aristotelian seperti karya Gazzali (Qistas al-Mustaqim dan Mustasfa). Kemudian karya-karya yang menolak penggunaan logika Aristotelian seperti karya Ibnu Taymiya (Kitab Nasihat ahl al-Iman fi ar-Rad ‘ala Mantiq al-Yunan), Suyuti (Kitab Jahd al-Qariha fi Tajrid an-Nasiha, Kitab Saun al-Mantiq wal Kalam ‘an Fann al-Mantiq wal Kalam dan Kitab al-Qoul al-Mushriq fi Tahrim al-Ishtighal bil Mantiq). Selain itu ia juga menelaah karya-karya mutakallimun lainnya seperti karya Abu Hasyim (Kitab at-Tasafuh), Dirar bin ‘Amr (Kitab Adab al-Mutakallimin), Mutahhar bin Tahir al-Maqdisi (Kitab al-Bad’ wat-Ta’rikh), Abu al-Husain al-Katib (Burhan fi Wujuh al-Bayan), Karaite al-Qirqisani (Kitab al-Anwar) dan Pseudo Qudama (Kitab Naqd an-Nathr).
Literatur-literatur yang digunakan tersebut di atas merupakan gambaran dari sebuah penelitian yang mendalam. Selain itu, terkait dengan literatur-literatur tentang pemikiran mutakallimun, Josep van Ess tidak terjebak pada nuansa parsial. Ia mengelaborasi semua corak pemikiran kalam, baik yang cenderung pada logika Aristotelian, yang menolak penggunaan logika Aristotelian (bahkan semua logika Yunani) dan corak yang mengakomodir metode answer-query (dialektik) dalam pencarian kebenaran.
GAMBARAN PENELITIAN JOSEF VAN ESS
Dalam penelitian ini, Josef van Ess memotret persoalan dengan menggunakan pendekatan sistematik (systematic approach). Namun Josef van Ess menyadari bahwa pendekatan sistematik mempunyai kelemahan, yaitu tidak historis sepanjang melalaikan pengembangan yang sementara dari tiap satuan gagasan. Tetapi dengan bantuan kajian historis kelemahan tersebut dapat ditutupi. Menurut Josef van Ess, banyak pemikiran teologi dan hukum harus dianalisa secara hati-hati sebelum kita membuat statments tentang perbaikan yang logis.
Josef van Ess mengelaborasi struktur pemikiran kalam dalam literatur-literatur kalam klasik, ia melihat bahwa pernyataan Abdullatif al-Baghdadi langsung terbantahkan. Karena dalam kenyataannya, hampir semua teolog mengaplikasikan logika dalam proses berfikirnya. Sebagai dasar sederhana yang ditampilkan Josef van Ess adalah perdebatan klasik antara Abu Hashim dan Abu Bishr Matta bin Yunus terkait dengan persoalan speech dan logic.
Dengan riset historis yang digunakan, Josef van Ess menelisik dan menelaah struktur logika Yunani, baik model Aristotelian, Platonistik, dan Stoik. Penelusuran ini merupakan titik pijak untuk dapat memahami struktur pemikiran mutakallimun. Dalam penelusuran historis yang diramu dengan pendekatan sistematiknya ini, Josef van Ess menemukan sesuatu yang menarik, bahwa basis pemikiran logika yang dipakai oleh para mutakallimun ternyata tidak hanya mengaskses pada logika Aristotelian.
Dalam eksplorasinya, Josef van Ess menjelaskan bahwa kalam bermakna berbicara (speech), “berbicara dengan seseorang”. Dari hal ini, kemudian kebenaran dalam kalam dirumuskan dengan dasar dengan metode jawab wa su’al (answer and query). Dalam metode ini, seseorang diposisikan sebagai mas’ul karena ia telah mengajukan sebuah tesis, dan seorang lagi sebagai sa’il yakni seseorang introgator yang mencoba mempertanyakan tesis mas’ul. Dua posisi ini saling berhadapan, oleh karena itu sangat sulit salah satunya untuk mencapai kata kesepakatan. Sebagaimana dalam model dialog, “jika kamu ingin, kamu boleh bertanya kepadaku, jika tidak, aku akan bertanya kepadamu”. Dalam gaya bahasa teolog biasanya berbunyi, “wa in qala qa’ilun…qulna…” atau “wa la yuqala inna…li anna naqulu…”. Dari gaya tersebut, nampak bahwa mutakallimun pada masa klasik tidak menempatkan logika pada porsinya. Logika hanya difahami sebagai mekanisme dalam kategori defense (bertahan) dan attack (menyerang). Mereka gunakan secara konsisten dan sistematik untuk bertempur melawan para cendekiawan Yahudi, Nasrani dan Manichean.
Metode para mutakallimun yang menitikberatkan pada model defense (bertahan) dan attack (menyerang), menggambarkan bahwa logika yang yang digunakan lebih condong pada pola apologetik dan agresif. Para mutakallimun membuktikan bahwa sesuatu itu baik, tetapi tidak selalu bahwa hal tersebut benar seluruhnya. Mereka melakukan kritik, tetapi tidak bersifat konstruktif. Selain itu sesuatu itu dipandang valid, tetapi tidaklah valid secara formal. Oleh karena itu, logika kalam yang digunakan para mutakallimun bermakna kemenangan dari argumentum ad hominem. Bahkan lebih buruk, menurut Josef van Ess dengan merujuk pada suatu definisi tua yang mula-mula diperoleh dari kritik Plato menyangkut kelompok Sophist, bahwa ahli dialog (master of dialectics) adalah seseorang yang memahami bagaimana cara membuat benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar.
Josef van Ess menambahkan, selama ini para mutakallimun memunculkan argumentasi dan analogi dengan menggunakan metode burhan yang sangat kental dengan logika Aristotelian. Dalam hal ini mas’ul (yang mempunyai tesis) haruslah memliki bukti dari opininya, namun bukti di sini bukanlah bukti dalam pengertian Aristotelian, melainkan sebuah άπόδειζις. Burhan, sebagaimana dikatakan oleh para filosof, bukanlah sebuah skema pembuktian atau seperangkat metodologi dari argumentasi sebagaimana silogisme atau sebuah induksi, melainkan sebuah tanda atau petunjuk, atau dalam bahasa biasanya disebut dalil. Akan tetapi dalam bahasa Inggris, hal tersebut disebut “proof” (dalam bahasa Jerman adalah kata “beweis”) bersifat ambigu yang tidak berarti tanda (sign), tetapi juga keseluruhan pembuktian yang dibangun dalam penelitian.
Josef van Ess menjelaskan bahwa para mutakallimun biasanya membedakan antara dalil dengan dalala. Dalil merupakan bukti dari sebuah tanda (sign), sedangkan dalala merupakan bukti dari sebuah skema atau stuktur. Sebagai contoh bila seseorang melihat asap, maka asap merupakan sebuah tanda (bukti) bahwa di sana ada api. Dalam hal ini, api merupakan madlul (alaihi) yang diindikasikan sebagai obyek atau fakta. Adapun jika seseorang menyimpulkan bahwa madlul (alaihi) berasal dari dalil, maka tindakan tersebut dinamakan istidlal. Hubungan antara dalil dan madlul dapat dilihat dalam aspek wajh at-ta’alluq. Sebagai contoh, sebuah ayat dalam al-Qur’an merupakan sebuah tanda dari perintah Tuhan, maka dengan dasar tersebut kemudian kita melaksanakannya. Karena –dengan berbasis pada wajh at-ta’alluq- kita memaknai bahwa Tuhan itu bijaksana, memerintahkan pada aspek kebaikan dan melarang pada perbuatan yang jahat. Dalil, madlul dan wajh ta’alluq umumnya dinyatakan sebagai kalimat (sentence) atau putusan (judgement), bukan sebagai gagasan (notion) atau istilah (term).
Dari penjabaran di atas dapat dilihat bahwa para teolog ternyata mengaplikasikan logika Stoik dalam struktur pemikirannya. Bahkan lebih dari itu, persamaan logika kalam dengan logika stoik tidak hanya terkait dengan sistem saja, tetapi juga dalam kosakata yang digunakannya. Dalil merupakan terjemahan atas σημείου dengan semua implikasinya. Madlul dari σημειωτόν atau σημαινόμευου, sedangkan dalala atau istidlal dari σημείωσις. Bahkan contoh yang terkenal mengenai asap dan api juga disebutkan oleh Sextus Empiricus. Jika sebuah proses dari tanda (sign) menuju obyek yang ditunjukkan, maka harus menggunakan ketentuan bersyarat (conditional clause); jika ada asap maka ada api. Maka protasis being adalah dalil dan apodosis being adalah madlul. Ketentuan bersyarat (conditional clause) ini dalam logika stoik disebut συνημμένον yang berasal dari συνάπτω, “untuk menggabungkan, untuk menyatukan”.
Bahkan lebih dari itu, pemikiran Stoik tidak hanya memberi pengaruh pada pemikiran kalam, tetapi juga pada struktur hukum Islam. Terkait dengan hal ini, Josef van Ess menelaah persoalan ‘lla yang merupakan komponen penting dalam proses qiyas (analogy). Dalam konstruk hukum, ‘illa disamakan dengan ratio legis, baik disebutkan secara eksplisit dalam teks ataupun tidak. Sebagai contoh, Josef van Ess menyebut keharaman anggur kurma (nabidz) dengan argumen analogis. Sebuah ‘illa diuji validitasnya dengan menggunakan kriteria tard wa ‘aks (coextensiveness and coexclusivenees). Sebuah ‘illa haruslah berkualitas muttarid (coextensive), ini bermakna bahwa ‘illa dapat diaplikasikan pada semua kasus-kasus individu sebagai obyek (sign) yang digunakan. Selain itu, juga bersifat mun’akis (coexlusive) dalam artian mencangkup seluruh kasus-kasus lain dari obyek yang mana menjadi tanda adanya kesamaan. Ahli hukum biasanya mengartikan tard, “bila di sana ada ‘illa (efek memabukkan dari anggur) hal tersebut merupakan pembatasan (hukum; maka diharamkan)”. Adapun ‘aks, “ ketika di sana tidak terdapat ‘lla, maka pembatasan (hukum) tidak ada”. Dua hal tersebut (tard dan ‘aks) kemudian disederhanakan oleh para fuqaha dalam istilah dawaran (rotation). Bila dikaitkan dengan gagasan Stoik, dawaran atau tard wa ‘aks merupakan sebuah kriteria validitas dari συνημμένον.
Secara lebih dalam, Josev van Ess menjelaskan bahwa hadd tidak menjangkau kekakuan seperti model yang Paripatetic. illa kadang-kadang sama dengan differentia specifica, tetapi dalam banyak kasus tidak lebih daripada suatu karakteristik yang umum suatu kelompok fakta atau obyek tertentu. Demikian juga, definisi di era awal kalam berarti semata-mata penjajaran atribut: “body is what is long, broad, and deep”. Banyak mutakallimun memahami berbagai hal semata-mata sebagai aksiden, tanpa substansinya. Definisi Aristotelian memahami bahwa suatu ontologi terdiri dari materi (matter) dan bentuk (form). Adapun definisi yang digunakan oleh mutakallimun pada umumnya tidak berniat untuk mengangkat gejala individu suatu kategori lebih tinggi, dalam kategori yang generik. Selain itu tidak menitikberatkan pada problem terkait dengan pencarian atas esensi sesuatu. Definisi Aristotelian tidak bisa menghindari pemaparan sedikitnya dua hal-hal yang berbeda-beda. Identitas telah dinyatakan dengan menunjuk " kualitas yang paling khusus" (akhass al-ausaf) dari dua hal umum. Sesuatu dicoba menggolongkan fakta tertentu dengan membandingkan dengan sesuatu yang lain (analogy) atau membedakannya dari masing-masing yang lain (tamyiz). Analogi adalah kesimpulan dari hal tertentu ke yang lain. Mutakallimun tertarik akan fakta individual terkait dengan eksistensi kongkret (concrete being) sebagaimana dengan Stoik. Logika berpreposisi yang digunakan oleh mereka berdua tidak berproses dari bentuk kalimat dengan subyek yang parsial, dan metode definisi mereka yang lebih pada penyebutan satu per satu dari karakteristik tertentu (particular characteristics).
Josef van Ess menggarisbawahi bahwa logika yang dipakai dalam ilmu kalam pada masa awal bukanlah seluruhnya mengakses pada logika Stoik, akan tetapi ia ingin menjelaskan fakta bahwa hal tersebut didasarkan logika Stoik. Josef van Ess juga telah mengelaborasi dasar Platonik dan gagasan-gagasan Aristotelian, namun semuanya kemudian digabungkan pada elemen dasar Stoik yang kuat.
KONTRIBUSI PENELITIAN JOSEF VAN ESS
Penelitian Josef van Ess memberi beberapa kontribusi dalam pengetahuan keislaman, antara lain: Pertama, membuktikan bahwa statement ‘Abdullatif al-Baghdadi yang menyatakan tak satupun diantara para fuqaha klasik tertarik dengan logika, kecuali al-Mawardi adalah tidak benar. Kedua, membuktikan bahwa struktur pemikiran kalam tidak hanya dipengaruhi oleh logika Aristotelian, tetapi juga oleh logika Stoik. Bahkan lebih dari itu, Josef van Ess membuktikan bahwa logika Stoik mempunyai posisi yang sangat besar dalam basis struktur pemikiran mutakallimun.
Kajian yang dilakukan oleh Josef van Ess terkait dengan persoalan struktur logika para mutakallimun sangatlah penting dan mempunyai banyak manfaatnya. Penelitian tersebut sangat menarik dan memiliki kelebihan antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan Josep van Ess ini merupakan respon dari pernyataan ‘Abdullatif al-Baghdadi yang menyatakan bahwa tak satupun diantara para fuqaha klasik tertarik dengan logika, kecuali al-Mawardi. Latar belakang penelitian ini tentunya sangat mengejutkan, karena pernyataan al-Baghdadi tersebut dikeluarkan pada tahun 1231-1232 M/629 H. Melakukan pembuktian atas pernyataan-pernyataan klasik sangat jarang untuk disentuh oleh para peneliti. Oleh karena itu, penelitian ini tentunya merupakan penelitian yang menarik dan jarang.
2. Selama ini, telah diketahui bahwa dalam logika mutakallimun sangat dipengaruhi oleh pemikiran logika Yunani. Namun yang nampak dari beberapa penjelasan, bahwa logika yang berpengaruh dalam struktur logika mutakallimun adalah logika Aristotelian. Penelitian Josep van Ess ini ternyata membuktikan sesuatu yang lain. Dari eksplorasinya yang mendalam, ia menemukan bahwa logika mutakallimun ternyata lebih dipengaruhi oleh logika Stoik. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan model jawab wa su’al, tard wa ‘aks dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari struktur logika stoik. Temuan ini tentunya memberi gambaran baru terhadap model dan pola struktur logika yang digunakan oleh mutakallimun.
3. Literatur-literatur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan gambaran dari sebuah penelitian yang benar-benar komprehensif. Penggunaan literatur-literatur Yunani, Arab, Prancis, Belanda, German dan Inggris menunjukkan kepiawaian Josep van Ess. Selain itu, terkait dengan literatur-literatur tentang pemikiran mutakallimun, Josep van Ess tidak terjebak pada nuansa parsial. Ia mengelaborasi semua corak pemikiran kalam, baik yang cenderung pada logika Aristotelian, yang menolak penggunaan logika Aristotelian (bahkan semua logika Yunani) dan corak yang mengakomodir metode answer-query (dialektik) dalam pencarian kebenaran. Dari hal tersebut dapat dirasa bahwa penelitian ini mencerminkan sebuah model yang holistik.
0 komentar:
Posting Komentar