Loading...

Dinamika Pemeliharaan Anak Pasca Perceraian



Oleh: Fikria Najitama
Pemeliharaan Anak di dalam Fikih
Ahmad Rafiq menyatakan bahwa hadhanah adalah memelihara seorang (anak) yang tidak bisa mandiri, dan memeliharanya untuk menghindarkannya dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan madarat kepadanya. Jadi, dalam hal ini hadhanah merupakan aktifitas yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anak kecil yang belum bisa membedakan antara yang baik dengan yang buruk, serta tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Dalam keadaan ini, kemudian orang tua mengurusnya dengan hal-hal yang membawa kemaslahatan bagi anak itu, serta memeliharanya dari hal-hal yang menyakiti atau membahayakan dengan cara mendidiknya, baik fisik, kejiwaan maupun akalnya.
Para ulama sepakat memandang bahwa hadhanah hukumnya adalah wajib. Hal ini dikarenakan bila yang diasuh (anak) ditinggalkan, maka akan merusak keadaan sang anak. Akan tetapi mengenai masa pengasuhan (hadhanah), para ulama mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Menurut Mazhab Hanafi, masa pengasuhan anak adalah tujuh tahun bagi laki-laki dan sembilan tahun bagi perempuan. Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa tidak ada batasan tertentu bagi asuhan anak, dan dia tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Kalau seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka dia boleh tinggal ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya di siang harinya, agar ayahnya bisa mendidiknya. Sedangkan bila anak perempuan memilih tinggal bersama ibunya, maka dia boleh bersama ibunya siang dan malam. Tetapi bila anak tersebut (baik laki-laki atau perempuan) memilih tinggal bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian, bila anak tetap diam (tidak memberi pilihan) maka dia tinggal bersama ibunya. Mazhab Maliki berpendapat bahwa masa asuh anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah. Menurut Mazhab Hanbali menyatakan bahwa masa asuh anak laki-laki dan perempuan adalah tujuh tahun, dan sesudah itu anak disuruh memilih apakah akan tinggal bersama ibu atau ayahnya. Sedangkan Imamiyah berpendapat bahwa masa asuh untuk anak laki-laki adalah dua tahun, sedang anak perempuan tujuh tahun. Kemudian menjadi hak ayahnya hingga anak berumur sembilan tahun bila dia perempuan, dan lima belas tahun bila dia laki-laki, untuk kemudian disuruh memilih diantara keduanya.
Dinamika di Negara-Negara Muslim
            Mengenai masa dalam mengasuh anak, muncul banyak perbedaan dibanyak negara-negara muslim. Malaysia di bawah Hukum Keluarga Muslim Federal Terittitories misalnya, menyatakan bahwa seorang anak dibawah umur mumayyiz maka hal pemeliharaannya diserahkan kepada ibu. Adapun yang telah mencapai umur mumayyiz maka diberikan kebebasan untuk memilih antara ibu dan ayahnya. Umur mumayyiz bagi anak perempuan adalah 9-11 tahun, bagi anak laki-laki adalah 7-9 tahun. Di Pilipina, dalam Undang-undang Hukum Personal Philipina pasal 78, menyatakan bahwa pemeliharaan anak karena perceraian diberikan kepada ibunya sampai umur 7 tahun. Arab Saudi menyatakan bahwa masa pengasuhan sampai umur 7-8 tahun untuk anak laki-laki dan bagi anak perempuan masa pengasuhannya sampai menikah. Di Syiria, masa pengasuhan anak-laki-laki sampai umur 9 tahun, sedangkan perempuan sampai umur 11 tahun. Adapun Tunisia menyatakan bahwa apabila terjadi perceraian, maka hak pengasuhan anak diberikan kepada ibunya. Sedangkan terkait dengan masa pengasuhannya adalah 7 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan. 
Dari penjabaran di atas, paling tidak ada dua tipe undang-undang negara terkait dengan persoalan masa pengasuhan anak pasca perceraian, yaitu: Pertama, negara yang telah meninggalkan konsep fikih klasik dan melakukan reformulasi terkait dengan masalah ini. Indonesia misalnya, memandang bahwa anak yang belum berumur 12 tahun baik laki-laki ataupun perempuan, maka hak pengasuhannya masih bersama ibu. Hal ini tentunya merupakan rumusan yang baru dan berbeda dengan fikih Syafi’i yang dianut di Indonesia. Demikian juga dengan negara Irak yang memberi batasan 10 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Hal tersebut merupakan sebuah langkah keberanjakan konsep dari mazhab fikih ada di negara Irak. Kedua, negara muslim yang masih memberlakukan fikih klasik tanpa adanya perubahan. Sebagai misal adalah negara Arab Saudi yang tetap konsisten memberlakukan masa pengasuhan sampai umur 7-8 tahun sebagaimana konsep fikih yang dianutnya. Kemudian Tunisia juga belum beranjak dari fikih Hanafi dengan mengkonsepkan masa pengasuhan sampai umur 7 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan.
Dari berbagai perbedaan masa pengasuhan yang dirumuskan oleh beberapa negara, nampak bahwa faktor gender juga masih menjadi faktor perbedaan. Arab Saudi misalnya, menyatakan bahwa masa pengasuhan sampai umur 7-8 tahun untuk anak laki-laki dan bagi anak perempuan masa pengasuhannya sampai menikah. Kemudian Syiria yang menyatakan bahwa masa pengasuhan anak-laki-laki sampai umur 9 tahun, sedangkan perempuan sampai umur 11 tahun. Bahkan Tunisia, yang selama ini dianggap paling kontroversial undang-undangnya juga masih bias. Tunisia menganggap masa pengasuhan adalah umur 7 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun  untuk perempuan. Dari penelusuran penulis, yang memposisikan persamaan dalam hal masa pengasuhan anak adalah Irak, Yordania, Yaman Selatan, dan termasuk Indonesia. Irak menganggap masa pengasuhanan adalah 10 tahun. Yordania, masa pengasuhan adalah 9 tahun. Yaman selatan, masa pengasuhan adalah 7 tahun. Indonesia, masa pengasuhan adalah 12 tahun. Negara tersebut telah memposisikan sama antara anak laki-laki dan perempuan, dan tentunya hal ini merupakan formulasi baru dan telah beranjak dari pemahaman fikih klasik yang cenderung membedakannya. Dari penjelasan di atas menarik untuk dicermati bahwa terkait dengan persoalan masa pemeliharaan anak pasca perceraian dibeberapa negara muslim telah beranjak dari paradigma fiqh klasik. Poin khususnya adalah terkait dengan masa pemeliharaan dan dalam hal tidak adanya perbedaan usia antara anak laki-laki dan perempuan. Dengan demikian hal tersebut merupakan sebuah langkah maju dalam merespon konteks sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat. Wallohu a’lam bi ash-showwab

 

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP