Oleh: Fikria Najitama
Banyak fenomena menarik akhir-akhir ini, salah satunya adalah munculnya gagasan untuk menerapkan syari’ah Islam sebagai dasar dan pegangan di Indonesia. Selain itu, di masyarakat juga muncul fenomena gerakan fundamentalisme yang mencoba mengaplikasikan konsep syari’ah Islam. Akan tetapi, kecendrungan yang muncul dari gerakan tersebut adalah mengaplikasikan konstruksi syari’ah Islam yang berwajah Arab. Sebenarnya tidak ada yang salah bila menggunakan kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan seseorang. Tetapi yang menjadi masalah adalah penggunaan asumsi bahwa warna tersebut merupakan bentuk keberagamaan tunggal yang dianggap paling benar. Hal tersebut tentunya berimbas pada keadaan dimana ekspresi Arab menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat.
Kenyataan yang lebih menggelisahkan lagi adalah munculnya justifikasi-justifikasi seperti belum kaffah, sesat, bid’ah atau musyrik kepada orang-orang yang tidak menggunakan ekspresi tersebut. Soal sungkem (berjabat tangan) antara laki-laki dan perempuan misalnya, dianggap merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’ah Islam, padahal sungkem merupakan bagian dari budaya yang berkembang di masyarakat. Demikian juga dengan tradisi masyarakat lainnya yang dianggap bid’ah sesat hanya karena tidak dipraktekkan pada zaman Nabi. Realitas ini menunjukkan masih adanya pemahaman sempit terhadap Islam khususnya terkait dengan interaksinya dengan tradisi lokal masyarakat.
Islam dan Budaya Lokal
Bila kita mengkaji lebih dalam sejarah Islam, maka akan didapatkan fakta bahwa banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam, namun juga mengakomodirnya dengan menghilangkan aturan-aturan yang tidak sesuai dengan prinsip Islam. Realitasnya, Nabi Muhammad Saw banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat bagi praktek hukum Adat di dalam sistem hukum Islam. Sebagai bukti dari hal tersebut adalah adanya konsep sunah taqririyyah dimana Nabi Muhammad Saw membiarkan tradisi yang berlangsung masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak melakukan tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang berlaku di masyarakat Arab, sepanjang hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran fundamental Islam.
Sebagai contoh dari hal tersebut bahwa Islam menjalankan ibadah haji dan umrah sebagaimana telah dipraktekkan dalam masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang. Masyarakat Arab menjalankan ritual-ritual tersebut sebagaimana dijalankan oleh umat Islam sekarang ini, yaitu: talbiyyah, ihram, wukuf dan lain sebagainya. Setelah kedatangan Islam, kemudian praktek tersebut diteruskan dengan penggunaan istilah yang sama. Akan tetapi Islam kemudian membersihkan ibadah ini dari perilaku syirik, seperti ungkapan-ungkapan talbiyyah mereka yang masih bernuansa syirik. Di samping itu Islam juga melarang bertawaf secara telanjang. Demikian juga dengan praktek hukum Islam yang mengadopsi budaya Arab dalam hal sistem qisas dan diyat. Kedua hal tersebut merupakan praktek budaya masyarakat pra-Islam kemudian diadopsi dalam hukum pidana Islam. Hal lainnya adalah terkait dengan beberapa sistem transaksi yang berkembang di masyarakat pra-Islam juga diadopsi dalam sistem hukum Islam.
Dalam pemikiran ulama fiqih, dapat dilihat juga pengaruh sosial budaya terhadap gagasan-gagasan yang dibangunnya. Abu Hanifah memasukkan adat sebagai salah satu prinsip istihsan-nya. Dalam ijtihadnya, Abu Hanifah memanfaatkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang beragam dari masyarakat sebagai sumber hukum sekunder sepanjang hal tersebut tidak berlawanan dengan nass maupun spirit syari’ah. Demikian juga dengan Imam Malik yang mendudukkan adat masyarakat Madinah sebagai bagian penting dalam teori hukumnya.
Konteks Indonesia
Paling tidak dua paradigma penting dalam upaya menerapkan hukum Islam yang ramah budaya, yaitu: Pertama, Kontekstual. Yakni hukum Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan dimensi zaman dan tempat. Perubahan zaman dan tempat menjadi meniscayakan untuk melakukan penafsiran dan ijtihad. Dengan kemampuan melakukan adaptasi inilah sesungguhnya Islam bisa benar-benar salih li kulli zaman wa makan. Kedua, menghargai tradisi lokal. Dalam hal ini hukum Islam harus memposisikan tradisi lokal bukan dalam posisi obyek yang harus ditaklukkan, tetapi hukum Islam memposisikannya dalam dimensi dialogis.
Sebagaimana diketahui, sejarah Islam di Indonesia berlangsung dengan damai. Hal ini dikarenakan metode penyiaran Islam yang dilakukan para pendakwah bersifat lunak dan mampu berinteraksi dengan baik dengan budaya lokal yang ada. Para Wali sebagai generasi pertama pendakwah Islam berhasil meramu Islam dengan budaya lokal setempat. Dengan konsep yang canggih, mereka berhasil menarik para masyarakat untuk masuk dan mempelajari Islam.
Berbeda dengan para wali, sebagian para pendakwah yang berkembang sekarang malah berupaya untuk merobohkan budaya masyarakat yang telah ada. Mereka gampang menuduh seseorang belum kaffah, kurang islami, dan sebagainya hanya karena berbeda dengannya. Tentunya kenyataan ini sungguh menggelisahkan. Islam sebagai agama yang ramah dan toleran diubah menjadi agama yang sangar dan kaku. Dengan demikian penting kiranya untuk belajar dan melihat realitas masa Nabi dan para wali yang tetap mengakomodir kebudayaan masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama Islam. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
“Ruang Stainu Kebumen”
0 komentar:
Posting Komentar