Kang
Slamet: Berpikir Kritis ?
Para audiens yang sebagian
merupakan hasil cetakan dari ratusan abad yang lalu dan merupakan kelompok yang
diformat sebagai muqallid, langsung terperanjat alias kaget. Sebagian
lagi beristigfar dan yang lain mengelus dada. Kemudian, salah satu pemuda
dari mereka langsung berdiri. "interupsi"; ucapnya lantang laksana singa
yang kelaparan. Moderator dan seisi ruangan langsung tertuju padanya.
"Tunggu sebentar
… Kang Slamet belum selesai memberikan deskripsinya, dan … pertanyaannya
disimpan dulu", moderator berusaha memposisikan dirinya.
"Interupsi, dan pokoknya harus interupsi," gertak si pemuda.
"Beri dia kesempatan Mas … Kasihan khan?! Mungkin dia punya hal yang meta-penting," Kang Slamet memberi
tawaran.
"Ok, silahkan," si moderator pun menyodorkan kesempatan.
Tanpa membuang-buang waktu si pemuda pun mulai
memperkenalkan namanya, yang tentunya juga dengan berapi-api. Pokoknya panas.
"Ada beberapa hal yang ingin saya katakan disini, pertama, kritik Kang
Slamet terhadap definisi manusia yang telah disepakati ulama jelas tidak
berdasar, sebab kebenaran definisi tersebut sudah menjadi ijmak, minimal
ijmak sukuti. Kedua, dengan mengatakan bahwa definisi tersebut
salah, jelas merupakan hal yang tidak dapat diterima, karena mendiskreditkan kredibilitas para ulama. Ketiga,
ucapan Kang Slamet yang menyatakan definisi tersebut sangat berperikehewanan
dan tidak berperikemanusiaan berarti secara tidak langsung merupakan hinaan
bagi para ulama," papar si pemuda dengan wajah angker.
Seluruh ruang bertambah panas. AC
diputar lebih kencang, namun hembusan dinginnya tak terasa. Panas semakin
menggebu-gebu, dan kemudian Kang Slamet langsung melakukan improvisasi.
"Baik, sebelum saya jawab, ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan, dan yang bisa ngacung
dan langsung dapat hadiah. Panas mana antara ruang ini dan di tengah
padang pasir?" tanyanya sambil tertawa.
Audien berbisik-bisik. Ada yang
tertawa, ada yang tersenyum-senyum. Sebagian bingung dan ada juga yang masih
tetap memasang wajah angker.
"Ok, bila tidak ada yang
jawab maka akan saya jawab sendiri," kata Kang Slamet sambil
tersenyum-senyum tidak jelas. Ada tiga jawaban terkait dengan pertanyaan tersebut. Pertama,
lebih panas di ruang ini. Kedua, lebih panas di padang pasir. Ketiga,
sama panasnya. Lalu mana yang benar? Audiens tetap terdiam. Kang Slamet pun
meneruskan. "Semuanya bisa benar. Si pemuda tadi bila ditanya mungkin
jawaban pertama yang dianggap benar, karena sekarang dia sedang panas dan
mungkin belum pernah berpesiar ke padang pasir. Jawabannya pun
benar. Orang Arab mungkin menjawab yang kedua, karena pertanyaan saat pertanyaan diajukan,
di padang pasir sedang musim panas dan dia tidak hadir di ruang ini. Jawabannya pun
benar. Sedang yang lain mungkin menjawab sama panasnya, karena selain merasakan
panasnya ruangan ini, juga ikut membayangkan panasnya padang pasir. Ini juga
agak benar. Jadi intinya ketiganya bisa benar. Selain itu ketiganya juga tidak
terlepas dari kritik. Mengapa? Karena terkait dengan jawaban tersebut, unsur
personalitas jawaban sangat tinggi. Ada orang yang tahan panas, tidak tahan
panas, biasa panasan dan ada lagi yang hatinya sedang panas," papar Kang Slamet
diselingi dengan senyum penuh makna.
"Interupsi,” teriak si pemuda
dengan wajah lebih angker tapi kelihatan bingung. "Apa relevansi
penjabaran tersebut terkait dengan pertanyaan saya? Anda telah melebar dan
tidak jelas!!!".
Dengan wajah yang tetap senyam-senyum,
Kang Slamet menjawab, "Sabar, sabar… . Penjabaran tadi jelas mempunyai relevansi dengan pertanyaan Saudara, makanya
jangan dipotong dulu. Begini… Ketiga jawaban terkait dengan panas sama juga ketika menjawab
terkait dengan suatu obyek yang lain. Misalnya dengan pertanyaan apa itu
manusia? Jawabannya tentu bisa bermacam-macam, terkait dengan cara pandang, background personal dan nalar yang
melingkupinya. Lalu mana yang benar? Tentu semuanya bisa benar. Namun, harus digarisbawahi
bahwa setiap jawaban atau definisi yang tersusun bukanlah harga mati ataupun
paling benar. Semuanya sah-sah saja untuk dikritik. Dan ulama tetaplah manusia,
berarti ulama bisa 'salah'. Dan mungkin juga begini, bahwa jawaban ulama bisa
berarti benar dalam rentang sejarah tertentu, dan kurang tepat dalam ranah
sejarah yang lain. Begitu juga terkait dengan definisi manusia yang menurut
saya tidak tepat. Do you understand? Kang Slamet menjabarkan dengan
serius tapi tetap senyam-senyum.
Aku yang duduk di pojok pun senyam-senyum. Bukan karena paham dengan
ungkapan Kang Slamet yang njlimet, juga bukan karena kebingungan. Tapi karena melihat senyuman Kang
Slamet yang memang sangat tidak menawan.
Abi Savira
(Majalah nahNUniyah Edisi I/Januari-Maret 2014)
0 komentar:
Posting Komentar