Loading...

Kang Slamet: Berpikir Kritis ?

Kang Slamet: Berpikir Kritis ?

             
Dalam khazanah kitab kuning dan obrolan para ahli logika, selama ini manusia sering didefinisikan sebagai hewan yang berakal (hayawan natiq). Jelas definisi ini tidak berperikemanusiaan. Definisi ini sangat tidak pas, atau mungkin bisa dikatakan sangat simplistik. Mengapa demikian? Pertama, manusia jelas sangat berbeda dengan hewan. Jangan lihat dari perspektif biologis yang sangat materialis. Kedua, berakal merupakan sebuah kata sifat. Bila definisi ini dipaksakan jelas akan berkonsekuensi bila sebuah wujud "manusia"  tidak bisa dimaknai manusia, sebab tidak "berakal". Tentunya hal itu tidak dapat dibenarkan. Demikian paparan  Kang Slamet dengan ekspresi sangat ngakademis dan mirip dosen dalam halaqoh santri komunitas Pena Pesantren.
            Para audiens yang sebagian merupakan hasil cetakan dari ratusan abad yang lalu dan merupakan kelompok yang diformat sebagai muqallid, langsung terperanjat alias kaget. Sebagian lagi beristigfar dan yang lain mengelus dada. Kemudian, salah satu pemuda dari mereka langsung berdiri. "interupsi"; ucapnya lantang laksana singa yang kelaparan. Moderator dan seisi ruangan langsung tertuju padanya.
"Tunggu sebentar Kang Slamet belum selesai memberikan deskripsinya, dan … pertanyaannya disimpan dulu", moderator berusaha memposisikan dirinya.
"Interupsi, dan pokoknya harus interupsi," gertak si pemuda.
"Beri dia kesempatan Mas Kasihan khan?!  Mungkin dia punya hal yang meta-penting," Kang Slamet memberi tawaran.
"Ok, silahkan," si moderator pun menyodorkan kesempatan.  
            Tanpa membuang-buang waktu si pemuda pun mulai memperkenalkan namanya, yang tentunya juga dengan berapi-api. Pokoknya panas. "Ada beberapa hal yang ingin saya katakan disini, pertama, kritik Kang Slamet terhadap definisi manusia yang telah disepakati ulama jelas tidak berdasar, sebab kebenaran definisi tersebut sudah menjadi ijmak, minimal ijmak sukuti. Kedua, dengan mengatakan bahwa definisi tersebut salah, jelas merupakan hal yang tidak dapat diterima, karena mendiskreditkan kredibilitas para ulama. Ketiga, ucapan Kang Slamet yang menyatakan definisi tersebut sangat berperikehewanan dan tidak berperikemanusiaan berarti secara tidak langsung merupakan hinaan bagi para ulama," papar si pemuda dengan wajah angker.
            Seluruh ruang bertambah panas. AC diputar lebih kencang, namun hembusan dinginnya tak terasa. Panas semakin menggebu-gebu, dan kemudian Kang Slamet langsung melakukan improvisasi.
"Baik, sebelum saya jawab, ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan, dan yang bisa ngacung dan langsung dapat hadiah. Panas mana antara ruang ini dan di tengah padang pasir?" tanyanya sambil tertawa.
            Audien berbisik-bisik. Ada yang tertawa, ada yang tersenyum-senyum. Sebagian bingung dan ada juga yang masih tetap memasang wajah angker.
            "Ok, bila tidak ada yang jawab maka akan saya jawab sendiri," kata Kang Slamet sambil tersenyum-senyum tidak jelas. Ada tiga jawaban terkait dengan pertanyaan tersebut. Pertama, lebih panas di ruang ini. Kedua, lebih panas di padang pasir. Ketiga, sama panasnya. Lalu mana yang benar? Audiens tetap terdiam. Kang Slamet pun meneruskan. "Semuanya bisa benar. Si pemuda tadi bila ditanya mungkin jawaban pertama yang dianggap benar, karena sekarang dia sedang panas dan mungkin belum pernah berpesiar ke padang pasir. Jawabannya pun benar. Orang Arab mungkin menjawab yang kedua, karena pertanyaan saat pertanyaan diajukan, di padang pasir sedang musim panas dan dia tidak hadir di ruang ini. Jawabannya pun benar. Sedang yang lain mungkin menjawab sama panasnya, karena selain merasakan panasnya ruangan ini, juga ikut membayangkan panasnya padang pasir. Ini juga agak benar. Jadi intinya ketiganya bisa benar. Selain itu ketiganya juga tidak terlepas dari kritik. Mengapa? Karena terkait dengan jawaban tersebut, unsur personalitas jawaban sangat tinggi. Ada orang yang tahan panas, tidak tahan panas, biasa panasan dan ada lagi yang hatinya sedang panas," papar Kang Slamet diselingi dengan senyum penuh makna.
            "Interupsi,” teriak si pemuda dengan wajah lebih angker tapi kelihatan bingung. "Apa relevansi penjabaran tersebut terkait dengan pertanyaan saya? Anda telah melebar dan tidak jelas!!!".
            Dengan wajah yang tetap senyam-senyum, Kang Slamet menjawab, "Sabar, sabar… . Penjabaran tadi jelas mempunyai relevansi dengan pertanyaan Saudara, makanya jangan dipotong dulu. Begini… Ketiga jawaban terkait dengan panas sama juga ketika menjawab terkait dengan suatu obyek yang lain. Misalnya dengan pertanyaan apa itu manusia? Jawabannya tentu bisa bermacam-macam, terkait dengan cara pandang,  background personal dan nalar yang melingkupinya. Lalu mana yang benar? Tentu semuanya bisa benar. Namun, harus digarisbawahi bahwa setiap jawaban atau definisi yang tersusun bukanlah harga mati ataupun paling benar. Semuanya sah-sah saja untuk dikritik. Dan ulama tetaplah manusia, berarti ulama bisa 'salah'. Dan mungkin juga begini, bahwa jawaban ulama bisa berarti benar dalam rentang sejarah tertentu, dan kurang tepat dalam ranah sejarah yang lain. Begitu juga terkait dengan definisi manusia yang menurut saya tidak tepat. Do you understand? Kang Slamet menjabarkan dengan serius tapi tetap senyam-senyum.
            Aku  yang duduk di pojok pun senyam-senyum. Bukan karena paham dengan ungkapan Kang Slamet yang njlimet,  juga bukan karena kebingungan. Tapi karena melihat senyuman Kang Slamet yang memang sangat tidak menawan.

Abi Savira
(Majalah nahNUniyah Edisi I/Januari-Maret 2014)

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP