Loading...

PARADIGMA KRITIS MAHASISWA


Oleh: Fikria Najitama [i]



Bila engkau inginkan kedamaian dan ketentraman jiwa, maka yakinlah;
Namun bila engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka carilah.
(Nietzsche)

Signifikansi Paradigma Pendidikan
Paradigma secara sederhana diartikan sebagai kerangka berpikir.[ii] Menurut Kuhn, paradigma merupakan teori-teori, metode-metode, fakta-fakta, eksperimen-eksperimen yang telah disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi aktifitas ilmiah.[iii] Terkait dengan pendidikan, Henry Giroux dan Aronowitz mengkategorikan paradigma pendidikan menjadi tiga, yakni konservatisme, liberal serta kritis.[iv] Pertama, Paradigma Konservatif yakni paradigma yang mendasarkan pada asumsi bahwa masyarakat pada dasarnya tidak dapat merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Dalam hal ini, ketidakadilan, ketidakadilan masyarakat merupakan suatu ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Dengan demikian, perubahan sosial tidaklah dapat diperjuangkan, karena perubahan hanya akan menyebabkan implikasi yang lebih negatif. Implikasi dari paradigma ini –merujuk pada Freire-  adalah munculnya kesadaran magis (magical consciousness), yakni kesadaran yang lebih melihat faktor di luar manusia sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Proses pendidikan model ini tidak memberi landasan kemampuan analisis. Murid hanya digiring untuk memahami doktrin-doktrin tanpa memahami makna atas realitas yang terjadi.  
Kedua, Paradigma Liberal. Paradigma ini berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah dalam masyarakat, namun bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Pandangan ini hanya menempatkan pendidikan sebagai ‘alat’ yang digunakan demi kepentingan tertentu. Sebagai misal pandangan structural fuctionalisme yang menempatkan pendidikan sebagai sarana menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Implikasi dari paradigma ini yakni terbentuknya kesadaran naif (naival consciousness). Dalam kesadaran ini, masalah etika, kreatifitas, need for achevement dianggap sebagai penentu perubahan. Dalam proses pendidikan, kesadaran ini tidak mempertanyakan sistem dan struktur. Adapun tugas pendidikan adalah untuk membuat dan mengarahkan agar anak didik bisa beradaptasi dengan sistem yang telah ada.
Ketiga, Paradigma Kritis, yakni paradigma yang mendasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan merupakan arena perjuangan politik. Urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah trasformasi sosial. Dalam paradigma ini, tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Dengan demikian, implikasinya adalah memunculkan kesadaran kritis (critical consciousness), yakni kesadaran yang lebih melihat bahwa aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Dengan demikian, tugas pendidikan adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam proses penciptaan struktur baru dan lebih baik.[v] 
            Ketiga kategori paradigma pendidikan ala Henry Giroux dan Aronowitz serta implikasi kesadaran ala Paulo Freire tersebut sangat tepat untuk menunjukkan realitas model pendidikan yang ada. Namun lebih menarik lagi kiranya bila ketiga paradigma tersebut tidak hanya dilihat dari aspek kategoris, namun juga dari perspektif paradigm shift ala Kuhnian.
Dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution[vi], Kuhn mengintrodusir adanya konsep paradigm shift, yakni pergantian secara radikal paradigma lama dengan paradigma baru karena paradigma lama sudah tidak mampu menjawab problem-problem ilmiah yang muncul. Istilah kunci yang dipakai oleh Kuhn dalam konsep paradigm shift adalah pre-paradigm stage, paradigm wars, normal science, anomaly, crisis, new paradigm.  
Secara sederhana, konsep paradigm shift  ini bermula dari adanya tahap pre-paradigmatic stage, yakni fase dimana pengetahuan manusia belum memiliki seperangkat teori, metode, dan pegangan ilmiah lain yang disebutnya sebagai paradigma. Keadaan ini kemudian menimbulkan paradigm wars, yakni pencarian menuju adanya paradigma yang dijadikan landasan (normal science). Tahap normal science merupakan tahap dimana telah terdapat landasan paradigma yang dijadikan pedoman. Namun sejarah mencatat bahwa tidak ada paradigma yang sempurna untuk menjawab seluruh persoalan, maka hal inilah yang menyebabkan adanya anomaly. Anomaly adalah problem-problem yang tidak dapat diselesaikan oleh suatu paradigma.[vii] Akumulasi anomaly akan menyebabkan munculnya crisis, yakni fase dimana old paradigm telah gagal untuk menyelesaikan problem ilmiah baru. Tahap crisis kemudian memunculkan adanya paradigm wars lagi, yakni kompetisi paradigma-paradigma untuk dipilih satu yang dijadikan landasan ilmiah yang kemudian menjadi paradigma baru (new paradigm).
Konsep paradigm shift ala Kuhn tersebut menunjukkan adanya peralihan secara revolusioner dari paradigma lama (old paradigm) menuju paradigma baru (new paradigm). Bila dikolaborasikan dengan pola Henry Giroux dan Aronowitz serta implikasi kesadaran ala Paulo Freire, maka pada dasarnya paradigma konservatif dianggap usang dan diganti dengan paradigma liberal, namun selanjutnya paradigma liberal juga merupakan produk gagal yang harus diganti dengan paradigma kritis. Kolaborasi konsep tersebut dapat diaplikasikan secara sederhana dalam proses pendidikan di Indonesia. Sebagaimana diketahui, pola pendidikan di Indonesia memiliki tahapan-tahapan. Di mulai dari PAUD, TK, SD, SLTP, SMU, dan Perguruan Tinggi. Setiap tahap dari proses tersebut tentunya memiliki paradigma sendiri.
Dalam tahap pertama (PAUD, TK, SD, SLTP) proses pendidikan dalam model ini kurang  memberi landasan kemampuan analisis. Murid hanya digiring untuk memahami doktrin-doktrin tanpa memahami makna atas realitas yang terjadi. Hal inilah yang kemudian memunculkan kesadaran magis, karena kuatnya doktrin-doktrin yang dilakukan para guru. Paradigma tahap pertama pertama ini kemudian mulai gagal ketika fase tahap kedua (SMU) dimana peserta didik telah diarahkan untuk beradaptasi dengan sistem dan struktur yang ada. Banyak peserta didik yang dilatih hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar dan sistem. Dengan kenyataan ini, pendidikan hanyalah sebuah sisem produksi bagi kebutuhan sistem dan struktur yang dianggap mapan.
Perubahan dari tahap pertama menuju tahap kedua inilah yang disebut paradigm shift. Tentunya, proses perpindahan paradigma tersebut juga mengalami anomaly dan crisis, yakni ketika ternyata dalam realitasnya doktrin-doktrin dianggap gagal menyelesaikan realitas kebutuhan hidup masa depan peserta didik. Dengan demikian, paradigma tahap pertama dianggap old paradigm yang harus diganti dengan paradigma kedua (new paradigm).    

Paradigma Berpikir Mahasiswa, Wajib Kritis !!!
Perguruan Tinggi merupakan school of education and school of reseach.[viii] Untuk menjelaskan fungsi perguruan tinggi tersebut, Whitehead membuat pernyataan yang menarik, yakni “fools act on imagination without knowledge; pedants act on knowledge without imagination. The task of a university is to weld together imagination and experience”.[ix] Pendapat ini tentunya dapat dimaknai, bahwa Perguruan Tinggi tidak hanya sebuah ruang untuk pendidikan konsep, namun juga sebagai ruang penelitian. Dengan demikian, para peserta didik di Perguruan Tinggi (mahasiswa) tidak hanya belajar dalam aras teori, namun juga praksis penelitian. Oleh karena itu, mahasiswa haruslah mempunyai kualitas yang mumpuni untuk melakukan kedua aspek fundamental tersebut.
Satu aspek paling mendasar untuk masuk ke ranah di atas adalah dengan merubah paradigma. Paradigma konservatif  (gaya sekolah dasar) dan naif  (gaya sekolah menengah atas) haruslah dibongkar dan memunculkan paradigma baru. Hal ini dikarenakan kedua paradigma tersebut tidaklah mendukung kepada orientasi fundamental pendidikan Perguruan Tinggi. Konsep doktrin-doktrin dan pengarahan kepada peserta didik oleh guru tidaklah lagi memuaskan, karena mahasiswa dalam hal ini merupakan insan akademis yang memiliki kualitas untuk melakukan perubahan di masyarakat. Dengan demikian, paradigma kritis merupakan paradigma wajib yang dipegang oleh mahasiswa.
Perguruan Tinggi merupakan ruang mahasiswa untuk kritis dengan realitas yang terjadi. Mahasiswa dituntut untuk mampu menganalisis, memetakan, dan menjadi agen dilapangan untuk perubahan sistem dan struktur yang lebih baik. Untuk itu, Perguruan Tinggi tidak lagi menggunakan metode belajar mengajar yang sering dijumpainya di dalam kelas-kelas sekolah yang mendudukan guru sebagai subyek dan peserta didik sebagai obyek. Antagonisme metode ini yang oleh Freire disebut sebagai “banking concept of education”. Konsep inilah yang menurut Freire telah menjadi alat untuk “menindas” kesadaran akan realitas yang sejati dan menyebabkan seseorang menjadi pasif dan menerima begitu saja keberadaannya. Secara mendasar apa yang terjadi pada “banking concept of education” adalah “education thus become an act of depositing, in which the students are depositories and the teacher is the depositor”.[x] Menurut Freire, “banking concept of education” secara fundamental mempunyai karakter naratif, terjadi pola di mana subjek (guru) berbicara dan objek (peserta didik) mendengarkan dengan sabar dan seksama.
Konsep “banking concept of education”, mendudukan guru berperan penuh dalam memilih dan menentukan bahan yang akan diajarkan, sedangkan peserta didik harus beradaptasi dengan ketentuan sang guru serta berperan untuk menghafalkan bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru adalah sosok yang mempunyai pengetahuan sedangkan peserta didik tidak tahu apa-apa, dan belajar mengajar adalah proses penganugerahan pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Hubungan guru-peserta didik adalah hubungan hierarkikal dan bukan dialogikal. Dari sisi materi pengajaran, metode ini meyakini bahwa realitas adalah statis, terbagi-bagi dan dapat diprediksi. “banking concept of education” juga tidak akan mendorong peserta didik untuk secara kritis mempertimbangkan realitas. Peserta didik hanya akan menjadi penerima yang pasif dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah ketika peserta didik telah menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam dirinya. Sehingga, peserta didik yang baik adalah yang dapat beradaptasi dengan baik dengan realita yang berada di sekelilingnya, karena manusia semacam inilah yang “cocok” dengan dunia.[xi]
Konsep “banking concept of education” merupakan sesuatu yang tidak terjadi di Perguruan Tinggi. Dalam hal ini, dosen dan mahasiswa merupakan ‘rekan’ dalam dialog kritis keilmuan. Dengan demikian, tidak ada tirani pemikiran[xii] (meminjam bahasa Syahrur) dalam kegiatan diskusi. Dosen memiliki posisi hanya sebagai ‘fasilitator’ yang memancing untuk berpikir kritis dalam merespon realitas. Melihat aspek fundamental dari pendidikan tersebut, maka paling tidak ada tiga ciri pokok pendidikan kritis Perguruan Tinggi.[xiii] Pertama, belajar dari realitas atau pengalaman; yang dipelajari bukan ajaran (teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, nasihat, dan seterusnya) dari seseorang, tetapi keadaan nyata masyarakat atau pengalaman seseorang atau sekelompok orang yang terlibat di atas keadaan nyata tersebut. Akibatnya, tidak ada otoritas pengetahuan seorang yang lebih tinggi dari lainnya. Keabsahan pengetahuan seorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan/pengalaman langsung, bukan pada retorika atau kepintaran omong-nya. Kedua, tidak menggurui, karena itu tidak ada guru dan tidak ada peserta didik yang digurui, semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah guru sekaligus peserta didik pada saat yang bersamaan. Ketiga, dialogis, yakni proses berlangsungnya belajar mengajar bersifat komunikasi dalam berbagai bentuk kegiatan (diskusi, kelompok bermain, dan sebagainya), dan media (peraga, grafik, audio-visual, dan sebagainya) yang lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antara semua orang yang terlibat dalam proses tersebut. Ketiga hal inilah kiranya yang dijadikan pedoman dalam pendidikan di Perguruan Tinggi. Semoga !!!


REFERENSI

Alferd N. Whitehead, The Aims of Education and Other Essays, New York: The Free Press, 1957.
Mansour Fakih, ‘Ideologi dalam Pendidikan’ Pengantar dalam William F. O’Neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Muhamad Agus Nuryatmo, “Education and Social Transformation: Investigating the Influence and Reception of Paulo Freire in Indonesia”, Thesis Ph.D Submitted to McGill University, Canada, 2006.
Muhammad Syahrur, Tirani Islam Geneologi Masyarakat dan Negara, terj. Saifuddin ZQ dan Badrus SF, Yogyakarta: LKiS, 2003.  
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppresed, New York: Praeger, 1986.
Sunhaji, ‘Paradigma Pendidikan Kritis: Menuju Humanisasi Pendidikan” dalam Jurnal Insania, P3M STAIN Purwokerto Vol. 13. No. 1. Tahun 2008.
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, London: The University of Scientific Revolution Press, 1970.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.






[i] Disampaikan dalam Orientasi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) STAINU Kebumen tahun 2011, Tanggal 10 September 2011.
[ii] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 828.
[iii] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, (London: The University of Scientific Revolution Press, 1970), hlm. 18.
[iv] Mansour Fakih, ‘Ideologi dalam Pendidikan’ Pengantar dalam William F. O’Neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. xiii.
[v]  Ibid, hlm. xiii-xviii.
[vi] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, (London: The University of Scientific Revolution Press, 1970).  
[vii]  Menurut Kuhn, anomaly appears only against the background provided by the paradigm. Lihat, Ibid., hlm. 65.  
[viii] Alferd N. Whitehead, The Aims of Education and Other Essays (New York: The Free Press, 1957), hlm. 92.
[ix]  Ibid., hlm. 93.
[x]   Paulo Freire, Pedagogy of the Oppresed, (New York: Praeger, 1986), hlm. 58.
[xi]  Untuk analisis kritis terhadap pemikiran Paulo Freire dan pengaruhnya dalam realitas pendidikan di Indonesia, lihat, Muhamad Agus Nuryatmo, “Education and Social Transformation: Investigating the Influence and Reception of Paulo Freire in Indonesia”, Thesis Ph.D Submitted to McGill University, Canada, 2006.
[xii]  Syahrur mengidentifikasi adanya enam tirani, salah satunya adalah tirani pemikiran dimana seseorang peserta didik harus bersifat taklid buta atas nama penghormatan. Lebih lanjut, lihat, Muhammad Syahrur, Tirani Islam Geneologi Masyarakat dan Negara, terj. Saifuddin ZQ dan Badrus SF, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm.233-319.  
[xiii] Sunhaji, ‘Paradigma Pendidikan Kritis: Menuju Humanisasi Pendidikan” dalam Jurnal Insania, P3M STAIN Purwokerto Vol. 13. No. 1. Tahun 2008, hlm. 111.

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP