Loading...

Signifikansi Pencatatan Perkawinan dan Persoalan Kawin Siri


Oleh: Fikria Najitama

Munculnya draf rancangan undang-undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010 merupakan salah satu isu menarik yang muncul belakangan ini. Walaupun masih berupa draf rancangan, namun hal tersebut sudah memancing polemik di masyarakat. Draf rancangan tersebut isinya memuat ketentuan pidana, khususnya terkait dengan perkawinan siri, perkawinan mut’ah, dan sebagainya.
Salah satu pasal yang menimbulkan kontroversi di masyarakat adalah pasal 143 yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi. Mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta. Pasal tersebut secara jelas menjelaskan larangan kawin siri dan ancaman hukuman bagi para pelakunya. Tentu saja hal itu kemudian menimbulkan kelompok pro dan kontra. Kiai Dr. Nur Muhammad Iskandar SQ (Pengasuh Pondok Pesantren Asy-Syidiqiyyah Jakarta) dalam sebuah acara di Kebumen menolak rencana pemidanaan bagi pelaku nikah siri. Menurutnya, pemidanaan nikah siri sudah mengarah kepada bentuk pelecehan agama dan negara. (Suara Merdeka, 17 Feb 2010). Respon senada juga muncul dari Ahmad Bagdja yang menyatakan bahwa sangat tidak logis dan aneh kalau nikah siri dihukum ketika perzinaan, free sex dan ‘kumpul kebo’ dianggap bagian dari hak asasi manusia karena dilandasi suka sama suka. (Suara Merdeka, 18 Feb 2010).
Departemen Agama sebagai pengusung draf rancangan UU mengaku bahwa landasan yang dipegang dalam membuat draf rancangan UU adalah keinginan untuk melindungi hak-hak anak dan perempuan. Dengan demikian, faktor legalitas administratif menjadi penting, karena dengan tidak adanya legalitas, maka secara otomatis hak-hak anak dan perempuan - seperti perwalian, warisan, harta gono-gini, dan sebagainya- menjadi sulit untuk dilindungi.
 
Menengok Negara Muslim Tetangga
            Persoalan pencatatan perkawinan sebenarnya bukan hal yang baru dalam konstruksi hukum keluarga, dalam hal ini beberapa negara muslim di dunia sudah menerapkan aturan tersebut. Brunei misalnya, dalam Religious Council and Kadis Courts Chap. 77 pasal 180 ayat (1) menyatakan “seorang yang seharusnya, tetapi tidak melaporkan perkawinan atau perceraian kepada Pegawai Pencatat adalah satu pelanggaran yang dapat mengakibatkan dihukum dengan penjara atau denda $200”. Demikian juga dengan Negara Pakistan dan Bangladesh. Dalam Muslim Family Law Ordinance tahun 1961, mengharuskan pendaftaran perkawinan. Bagi yang tidak mendaftarkan atau melaporkan pernikahannya, akan diancam dengan hukuman penjara maksimal 3 bulan atau denda 1.000 rupee. Penetapan ini dilandaskan pada al-Qur’an yang menyuruh pencatatan transaksi penting. Dalam hal ini, ulama tradisional Pakistan setuju dengan pencatatan perkawinan, asal hal tersebut tidak termasuk dalam syarat sah perkawinan. Negara Irak juga menerapkan hal yang hampir sama. Dalam UU Irak No. 1 Tahun 1984 disebutkan bahwa “Seorang yang melakukan akad nikah di luar pengadilan dihukum dengan hukuman penjara minimal 6 bulan dan maksimal 1 tahun atau denda minimal 300 dinar dan maksimal 1.000 dinar. Lebih dari itu, hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun kalau yang nikah di luar pengadilan adalah laki-laki yang sudah pernah menikah.
Tunisia dalam undang-undangnya menetapkan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan catatan resmi dari pemerintah (official document). Demikian juga dengan Libya dan Yaman yang dalam undang-undangnya juga mengharuskan adanya pencatatan perkawinan, walaupun tidak disebutkan akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan. Peraturan di Maroko lebih ketat lagi, dalam hal ini The Code of Personal Status Tahun 1957/1958 yang mensyaratkan tanda tangan dua notaris untuk absahnya pencatatan perkawinan. (Nasution, 2002)
Dari berbagai model di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persoalan pencatatan perkawinan bukanlah hal baru dalam konstruksi undang-undang diberbagai negara muslim. Bahkan pemidanaan terhadap orang yang menikah dengan tanpa melaporkan atau mencatatkannya kepada institusi pemerintah sudah berlaku dibeberapa negara muslim. Walaupun terdapat perbedaan terkait sanksi hukuman yang dikenakan, tetapi semuanya hampir sependapat bahwa pencatatan perkawinan merupakan aspek penting yang harus dilakukan.  

Sebuah Tawaran Alternatif
Anderson (1976) mencatat, terdapat lima metode pembaruan hukum yang digunakan oleh negara-negara muslim, yaitu: Pertama, melalui aturan yang bersifat prosedural sesuai dengan tuntutan zaman (the procedural expedient). Kedua, dengan metode takhayyur yakni memilih salah satu dari sekian pandangan mazhab yang ada dan talfiq yakni menggabungkan pendapat-pendapat yang ada (the electic expedient). Ketiga, dengan jalan ijtihad yakni kembali mengintepretasikan teks-teks syari’ah (the expedient of re-interpretation). Keempat, menggunakan aturan-aturan administratif (the expedient of administrative orders). Kelima, melalui keputusan-keputusan hakim (the expedient of reform by judicial decisions).
Dilihat dari kategori Anderson tersebut, pencatatan perkawinan merupakan usaha pembaruan yang menekankan pada aspek bersifat prosedural (the procedural expedient) sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam konteks Indonesia, KHI pasal 5 ayat 1 juga secara jelas menerangkan bahwa tujuan pencatatan perkawinan yang dilakukan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. Dengan demikian jelas bahwa fungsi pencatatan perkawinan adalah administratif, bukan syarat sah atau tidaknya suatu perkawinan. Pendapat kelompok kontra yang tetap meyakini bahwa pernikahan siri sah secara hukum Islam memang benar adanya, tetapi hal tersebut kurang dalam hal sisi administratif-nya yang tentunya berimbas pada pada hak dan kewajiban suami isteri secara hukum negara, karena perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Polemik yang muncul terkait dengan draf UU, patut dicermati secara dingin dan tidak emosional. Niat baik pemerintah dalam usaha melindungi hak-hak anak dan perempuan patut dipuji. Namun terkait dengan materi pemidanaan langsung terhadap para pelaku nikah siri harus dipertimbangkan lagi. Hal ini terkait dengan realitas budaya Indonesia yang sebagian masih melangsungkan pernikahan siri. Konstruksi hukum haruslah diterapkan secara bertahap dengan mempertimbangkan realitas sosial-budaya yang ada. Dengan demikian penting kiranya materi draf UU tersebut ditinjau ulang. Materi Pasal 143 yang menyatakan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi. Mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta” penting sekali untuk direkonstrusi. Dalam hal ini penulis mengusulkan menjadi “setiap orang yang melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah, wajib mendaftarkan atau melaporkan perkawinannya kepada Pejabat Pencatat Nikah paling lambat 14 hari setelah perkawinan. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan ancaman hukuman enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta”. Tawaran tersebut didasarkan pada asumsi: Pertama, supaya terdapat kejelasan bahwa persoalan pencatatan nikah bukanlah bagian dari syarat sah perkawinan. Kedua, untuk menghormati realitas budaya masyarakat yang masih menggunakan kawin siri, dan memberi waktu untuk menyiapkan syarat administratif dalam pendaftaran atau pelaporan kepada Pejabat Pencatat Nikah. Ketiga, untuk memberi peringatan bahwa perkawinan merupakan sakral dan tidak boleh dibuat mainan, dengan ancaman pidana terhadap orang yang menyembunyikan perkawinannya sampai batas waktu pendaftaran atau pelaporan, dapat dijadikan sanksi tegas supaya masyarakat memperhatikan hal tersebut dan supaya hak-hak anak dan isteri dapat dilindungi. 
Langkah yang diambil Pemerintah dengan draf rancangan UU tersebut merupakan langkah maju dalam usaha melindungi hak-hak anak dan perempuan. Sudah selayaknya hal tersebut direspon secara positif dan tidak serta merta ditentang. Namun kebijakan pemerintah tersebut seharusnya juga diikuti dengan usaha secara serius dalam menanggulangi kejahatan yang jelas-jelas melanggar aturan agama dan negara. Sebagaimana diketahui, sex bebas, prostitusi dan tindak perzinaan banyak terdapat di masyarakat dan sepertinya tidak direspon secara serius, namun dibiarkan dan pelakunya tidak dipidanakan. Kenyataan ini tentunya menimbulkan kegelisahan di masyarakat. Dengan tindakan tegas dan serius pemerintah terhadap pelaku sex bebas, prostitusi dan tindak perzinaan tentunya dapat menghilangkan tanda tanya besar di masyarakat yang mempertanyakan mengapa pemerintah malah mencoba mempidanakan pelaku kawin siri yang secara agama sah, tetapi membiarkan perilaku perzinaan dan prostitusi untuk bebas yang sejatinya melanggar agama. Dengan demikian, penting kiranya bila draf rancangan UU tersebut dibarengi dengan draf rancangan UU yang mengatur mengenai tindakan perzinaan, prostitusi, dan sebagainya. Wallohu a’lam bi ash-showab [ ]
Kebumen, 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP