Loading...

Bujukan yang Menggores


…Tiba-tiba anak itu menangis. Meraung, menghentakkan kaki dan seperti kesurupan. Sang ibu langsung bergegas mendekat. Berbagai rayuan muncul. Beli ini, beli itu. Dikasih ini, dikasih itu.
Aku terdiam dan mencoba tersenyum menyapa sang anak. Berharap meredakan tangis –walau mungkin tidak berhasil-. Namun dibalik ekspresi yang kutampakkan, pikiranku menelisik dalam. Mempertanyakan dan terus mempertanyakan. Mengapa tawaran yang berbau materi yang muncul? Mengapa hanya rayuan akan perspektif konsumeris yang ditawarkan, bukan belaian dan curahan kasih sayang yang diberikan?
Aku teringat ketika aku kecil. Waktu aku masih merangkak dan mencoba berjalan. Bahkan ketika aku masih menjejalkan kakiku di sekolah dasar. Ada ungkapan yang seringkali muncul ketika aku sedang dalam posisi anak itu, yakni ancaman akan adanya makhluk atu sekedar oknum.”awas, jangan menangis, nanti digawa medi!!”, “awas jangan menangis, nanti diculik!!” dan sebagainya.
Waktu terus berjalan, mengubah segalanya. Budaya merambat ke arah lain. Kebiasaan menjadi beda dan tata nilai berkelindahan. Dari pengalaman tadi dapat kita tebak, bahwa sekarang ini ukuran yang ditawarkan kepada anak telah banyak bergeser. Bila dulu unsur nilai akan mistik menjadi primadona, tapi sekarang ukuran materilah yang menjadi dasar. Dapat ditebak out put-nya pun selaras dengan pondasi yang ditawarkan. Orang dulu lebih cenderung lari dari bentuk-bentuk dunia materi dan lari ke alam mistis, sedangkan orang sekarang  lebih berjejal mengejar  materi.
Jadi ungkapan mana yang sebaiknya diberikan kepada anak? Terlepas dari yang paling baik dan benar, kita sekarang dapat rasakan imbas dari bujukan yang bersifat konsumeris kepada anak, yakni sebagian besar orang sekarang ini saling berlomba akan materi, berjuang hebat untuk mendapatkan materi, semua dilihat dari perspektif materi yang konsekwensinya adalah kekosongan jiwa dan kegelisahan.


Najitama's - Kamar Kebumen

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP