Loading...

KEGELISAHAN


Suatu siang yang cukup panas, disebuah kost mahasiswa beberapa orang berkumpul. Laiknya orang yang kepanasan, kaos dan kemejanyapun dilepas, entah hanya sebagai simbol bahwa mereka sedang kepanasan; mengharap seseorang datang membawa segelas es cendol. Sebuah demontrasi kepada Tuhan agar berbaik hati menurunkan kadar nyala matahari, atau hanya sebuah kontes adu tubuh? –padahal tulang iga terlihat muncul disela dada, maklum anak kos- terlepas dari ekspresi apa yang muncul atau motivasi yang ditonjolkan, tapi terlihat tangan mereka kokoh memegang puntung rokok, selaras dengan gumpalan asap yang keluar pekat dari mulut mereka. Secangkir kopi kental juga nampak terletak ditengah kerumunan. Mirip pramuka yang sedang nongkrong disekitar api unggun. Suatu kontradiksi atau minimal agak absurd ketika ada rumus: panas + rokok + kopi = ?. suatu perpaduan rumus yang tidak lazim. Tapi itulah kenyataannya.
Fenomena ini menarik, tapi lebih menarik lagi ketika mendengarkan obrolan mereka. Terlihat seru, penuh argumentasi dan ekspresi. Walau temanya terkesan simpel, tapi kandungannya begitu dalam. Kegelisahan, ya…itulah pokok persoalan yang dijadikaan obrolan yang kemudian membias menjadi perdebatan –tapi tidak sampai perkelahian- sebuah perdebatan yang cukup panas.
“kegelisahan adalah karena adanya sebuah persoalan, dan hal itu menuntut jawaban”. Kata seorang yang gemuk. “tidak bisa” sergah yang lain.” Kegelisahan memang sebuah persoalan, tapi tidak semua kegelisahan butuh jawaban, kegelisahan yang membutuhkan jawaban adalah kegelisahan teknis, sedangkan yang tidak butuh jawaban adalah kegelisahan abstrak”. Si gemuk tidak mau kalah, “kegelisahan abstrak itu seperti apa?”. kemudian dijawab,”aku tak bisa menjelaskannya, tapi aku merasaknnya”. “lha, tidak bisa dijelaskan, berarti tidak ada!”, balas si gemuk. “tidak bisa, kegelisahan abstrak itu ada, karena aku merasakannya!”, jawab seseorang. Perdebatan pun makin memanas dan terus memanas, seperti berbanding linier dengan sengatan matahari.
Kang Slamet yang kebetulan sedang duduk leyeh-leyeh didepan kumpulan tadi hanya tersenyum. Sambil nyruput es teh dia bergumam, “lah…pikiran kok ditemukan dengan hati. Pasti ya perang alias ribut”.
Memang dalam sejarah umat manusia, dua komponen tubuh yakni pikiran dan hati tidak pernah berdamai. Keduanya sama-sama ngotot ingin nongol terdepan. Al-Ghazali yang seringkali disebut sebagai aktor pemersatu keduanyapun dalam kenyataannya masih belum sukses, karena dia dalam akhir perjalanannya malah terkesan meminggirkan akal. Ya…memang keduanya laksana Tom and Jerry, kalau lagi berantem, maka terus berantem. Tapi kalau mentok ya salah satunya mengalah.
Kembali kepada tema kegelisahan, kama qola kang Slamet, kegelisahan memang suatu entitas yang unik. Rasa yang la budda harus ada sepanjang kita masih punya kesadaran. Even angel and prophet gelisah kok…?! Masa jika kita gak gelisah, wagu tenan to…!? Atau dengan sedikit memodifikasi term Descartes, “aku gelisah maka aku ada”. Gelisah memang tidak dapat dikotak-kotakkan atau dibagi-bagi, tapi memang kegelisahan mempunyai nuansa yang berbeda-beda pada tiap orang. Sebagian hanya gelisah akan realitas personal yang menuntut jawaban baik  quickly or slowly. Namun sebagian selain merasakan kegelisahan tersebut juga gelisah akan kegelisahan, atau cycle gelisah, dan hal ini tidak butuh jawaban, karena memang tidak akan pernah terjawab.
Dalam realitasnya pembedaan rasa gelisah itu dapat dilihat pada orang umum versus pemikir atau sebutan kerennya adalah filsuf. Atau dalam lingkup religious discourse dapat diibaratkan ahli fiqih versus para sufi. Sebagai contoh yang agak disimplifikasikan yakni orang umum melihat gambar iklan tentu hanya melirik pada visual dan arah dari iklan tersebut, tapi pemikir langsung diserbu dengan jutaan citra yang muncul baik secara visual, semantik, imaji dan virus-virus lainnya, dan tentu saja kegelisahan yang munculpun mempunyai dimensi yang berbeda.
"Sebenarnya perbedaan ini ‘adamihi kawujudihi dan bersumber dari mindset atau nalar. Seorang yang pengalaman hidupnya penuh ketertindasan, ketidakadilan, kesusahan, dibarengi dengan konstruk nalarnya tentu akan berbeda dengan orang yang dikungkung oleh realitas sebaliknya"; Begitu kata kang Slamet sambil menyalakan korek.
Aku hanya mengiyakan, karena aku gelisah dan entah aku gelisah karena tidak mudeng atau gelisah karena aku sadar karena aku gelisah?


Najitama's - Jogja`kamar Sapen

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP