Dalam khazanah halaqah pengajian, kitab kuning dan obrolan para ahli logika selama ini, manusia sering didefinisikan sebagai hewan yang berakal (hayawan natiq). Jelas definisi ini sangat berpri-kehewanan dan tidak berpri-kemanusiaan. Definisi ini sangat tidak pas, atau mungkin bisa dikatakan sangat simplistik. Mengapa demikian? Pertama, entitas manusia jelas sangat berbeda dengan hewan. Jangan lihat dari perspektif biologis yang sangat materialis. Kedua, berakal merupakan sebuah kata sifat, bukan kata benda. Bila definisi ini dipaksakan jelas akan berkonsekwensi bila sebuah wujud "manusia" tidak bisa dimaknai manusia, sebab tidak "berakal". Tentunya hal itu tidak dapat dibenarkan. Demikian paparan kang Slamet dengan ekspresi sangat ngakademis dan mirip dosen, dalam simposium jurusan Perbandingan Manusia dan Hewan alias PMH.
Para audien yang sebagian merupakan hasil cetakan dari ratusan abad yang lalu dan merupakan kelompok yang diformat sebagai muqallid, langsung terperanjat alias kaget. Sebagian lagi beristigfar dan yang lain mengelus dada. Kemudian salah satu pemuda dari mereka langsung berdiri. "intrupsi"; ucapnya lantang laksana singa yang kelaparan. Moderator dan seisi ruangan langsung tertuju padanya. "Tunggu sebentar, Kang Slamet belum selesai memberikan deskripsinya, pertanyaannya disimpan dulu"; moderator berusaha memposisikan dirinya. "intrupsi dan pokoknya harus intrupsi"; gertak si pemuda. " beri dia kesempatan mas, kasihan kan…, mungkin dia punya hal yang meta-penting"; Kang Slamet memberi tawaran. "Ok, silahkan"; si moderatorpun menyodorkan kesempatan.
Tanpa membuang-buang waktu sipemudapun mulai memperkenalkan namanya, yang tentunya juga dengan berapi-api. Pokoknya panas. "ada beberapa hal yang ingin saya katakan disini, pertama, kritik kang Slamet terhadap definisi manusia yang telah disepakati ulama jelas tidak berdasar, sebab kebenaran definisi tersebut sudah menjadi ijmak, minimal ijmak sukuti. Kedua, dengan mengatakan bahwa definisi tersebut salah, jelas merupakan hal yang tidak dapat diterima, karena mendiskreditkan kridebilitas para ulama. Ketiga, ucapan kang slamet yang menyatakan definisi tersebut sangat ber-prikehewanan dan tidak ber-prikemanusiaan berarti secara tidak langsung merupakan hinaan bagi para ulama"; papar si pemuda dengan wajah angker.
Seluruh ruang bertambah panas. AC diputar lebih kencang, namun hembusan dinginnya tak terasa. Panas semakin menggebu-gebu, dan kemudian Kang Slamet langsung melakukan improvisasi, " baik sebelum saya jawab, ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan, yang bisa ngacung dan langsung dapat hadiah. Panas mana antara ruang ini dan ditengah padang pasir?" tanyanya sambil tertawa.
Audien berbisik-bisik. Ada yang tertawa, ada yang tersenyum-senyum. Sebagian bingung dan ada juga yang masih tetap memasang wajah angker.
"ok…, bila tidak ada yang jawab maka akan saya jawab sendiri"; kata Kang Slamet sambil tersenyum-senyum tidak jelas. Ada tiga variable jawaban terkait dengan pertanyaan di atas. Pertama, lebih panas diruang ini. Kedua, lebih panas dipadang pasir. Ketiga, sama panasnya. Lalu mana yang benar? Audien tetap terdiam. Kang Slametpun meneruskan; "Semuanya bisa benar. Sipemuda tadi bila ditanya mungkin jawaban pertama yang dianggap benar, karena sekarang dia sedang panas dan mungkin belum pernah berpesiar ke padang pasir. Jawabannyapun benar. Orang Arab mungkin menjawab yang kedua, karena pertanyaan ketika pertanyaan di ajukan, di padang pasir sedang musim panas dan dia tidak hadir di ruang ini. Jawabannyapun benar. Sedang yang lain mungkin menjawab sama panasnya, karena selain merasakan panasnya ruangan ini, juga ikut membayangkan panasnya padang pasir. Ini juga agak benar. Jadi intinya ketiganya bisa benar. Selain itu ketiganya juga tidak terlepas dari kritik. Mengapa? Karena terkait dengan jawaban tersebut, unsur persoanalitas jawaban sangat tinggi. Ada orang yang tahan panas, tidak tahan panas, biasa panas dan ada lagi yang hatinya sedang panas", papar Kang Slamet diselingi dengan senyum penuh makna.
"intrupsi"; teriak si pemuda dengan wajah lebih angker tapi kelihatan bingung. "apa relevansi penjabaran tersebut terkait dengan pertanyaan saya? Anda telah melebar dan tidak jelas".
Dengan wajah yang tetap senyam-senyum, Kang Slamet menjawab; "sabar…sabar…, Penjabaran tadi jelas mempunyai relevansi dengan pertanyaan saudara, makanya jangan dipotong dulu. Begini…, ketiga jawaban terkait dengan panas sama juga ketika menjawab terkait dengan suatu obyek yang lain. Misalnya dengan pertanyaan apa itu manusia? Jawabannya tentu bisa bermacam-macam, terkait dengan cara pandang, background personal dan nalar yang melingkupinya. Lalu mana yang benar? Tentu semuanya benar. Namun harus digaris bawahi bahwa setiap jawaban atau definisi yang tersusun bukanlah harga mati ataupun paling benar. Semuanya sah-sah saja untuk dikritik. Dan ulama tetaplah manusia, berarti ulama bisa 'salah'. Dan mungkin juga begini, bahwa jawaban ulama bisa berarti benar dalam rentang sejarah tertentu, dan kurang tepat dalam ranah sejarah yang lain. Begitu juga terkait dengan definisi manusia yang menurut saya tidak tepat. Do you understand?; Kang Slamet menjabarkan dengan serius tapi tetap senyam-senyum.
Aku yang duduk di pojokpun senyam-senyum. Bukan karena paham dengan ungkapan Kang Slamet yang njlimet, juga bukan karena kebingungan. Karena jujur saja tidak bingung. Tapi karena melihat senyuman Kang Slamet yang memang sangat tidak menawan.
Najitama's - Sapen Jogja
0 komentar:
Posting Komentar